MENGAPA YUDAS MENJUAL YESUS
Dasar: Matius 26: 14-16
Selama ini banyak anggapan yang mengatakan bahwa Yudas menjual Gurunya seharga 30 keping uang perak karena sifatnya yang tamak dan rakus uang. Cerita yang tertulis dalam Alkitab mengenai Yudas, seringkali meyakinkan hal itu (bdk. Mat. 26:8,9 dan Yoh. 12:6). Dengan demikian anggapan itu menempatkan Yudas sebagai orang yang serakah dan cinta uang (apalagi diketahui bahwa Yudas adalah seorang murid Yesus yang berperan sebagai bendahara dalam komunitas Yesus).
Jika kita coba menghitung berapa rupiah uang yang didapat oleh Yudas, maka kita akan cukup tercengang mengetahui jumlah yang sebenarnya. Dalam Dake’s Bible digambarkan bahwa uang sebesar 30 keping uang perak sama nilainya dengan 19,20 dolar Amerika. Katakanlah sekarang kurs 1 dolar Amerika seharga Rp. 10.000,oo. Berarti “harga” Yesus kurang lebih adalah Rp. 192.000,oo. Murah sekali! Jadi, pasti bukan uang yang menjadi faktor utama Yudas menjual Yesus. Apalagi dalam kisah selanjutnya dikatakan bahwa Yudas mengembalikan uang itu kepada para Imam.
Jika demikian, apa yang menjadi pendorong Yudas untuk menjual Gurunya? Rupanya Yudas memiliki harapan seperti orang Yahudi pada umumnya, yaitu menjadikan Yesus sebagai pahlawan secara politik dengan cara melawan kekaisaran Romawi. Namun, ketika orang banyak berniat mengangkat-Nya menjadi Raja, Yesus malah mengasingkan diri. Bukan hanya itu, Yesus juga malah mengajar mereka untuk memberikan kepada Kaisar apa yang menjadi haknya. Jadi, cara paling pamungkas untuk memaksa Yesus melawan adalah dengan menyerahkan Dia kepada para Imam. Namun, Yesus malah memilih jalan Salib dan bukan melawan; itu sebabnya Yudas menjadi frustrasi dan bunuh diri (Mat. 27:5).
Apabila kita renungkan secara dalam peristiwa ini, kerapkali kita juga “mengkhianati dan menjual” Yesus demi mencapai tujuan kita sendiri, yaitu ketika kita memaksakan cara dan kehendak kita sendiri. Seringkali kita menempatkan Tuhan bukan sebagai penguasa hidup kita, melainkan sebagai “person” yang harus mengikuti kemauan kita. Kemahakuasaan Tuhan telah kita ganti dengan keterbatasan Tuhan yang berhadapan dengan kemahakuasaan kita.
Diakui atau tidak, seringkali kita menjadikan Tuhan sebagai objek bagi sesembahan kita. Yang menjadi subjek adalah diri kita sendiri. Yesus harus mengikuti semua keinginan kita dan apabila Dia tidak sesuai dengan keinginan kita, maka Dia bukanlah Yesus yang kita kenal tetapi Yesus yang asing, sehingga Yesus seperti itu harus ditinggalkan dan diganti dengan Yesus yang kita buat sesuai dengan imajinasi dan keinginan kita.
Tidaklah mengherankan apabila pemberitaan Alkitab pada saat ini seringkali menjadi batu sandungan bagi manusia. Karena setiap pemberitaan Alkitab mau menggambarkan kebenaran hakiki yang – mungkin – hal itu tidak sependapat dengan kebenaran yang dipikirkan oleh manusia. Sehingga dewasa ini terjadi peperangan antara keinginan Allah yang tertuang dalam Alkitab versus keinginan manusia yang tertuang dalam gaya kehidupan masa kini.
Apalagi saat ini seringkali ayat-ayat Alkitab dimanipulasi sedemikian rupa untuk membenarkan setiap keinginan manusia. Untuk menghakimi sesama, maka digunakanlah ayat-ayat Alkitab agar penghakiman itu sah dan bernilai rohani. Belum lagi gaya-gaya hidup yang “sok suci”, yang selalu bicara tentang ayat-ayat Alkitab tetapi hati, pikiran, tangan dan kakinya selalu menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan kemanusiaannya.
Banyak tipu daya yang tertuang dalam kehidupan; dan semua itu dilegalisasi dengan menggunakan ayat-ayat Alkitab. Bukankah hal ini sama seperti seorang Yudas? Yang dengan alasan kebenaran, berdasarkan kehendak Allah, ingin membentuk Yesus seperti yang diinginkan. Berarti pengkhianatan itu terjadi bila ada upaya yang ditimbulkan untuk memaksa seseorang sesuai dengan keinginan orang lain.
Tetapi renungan hari ini mau mengajak kita untuk belajar dari pengalaman Yudas; agar kita tidak mengulangi kesalahan Yudas dalam hidup kita. Tuhan lebih tahu apa yang lebih baik bagi hidup kita; dan jangan dibalik bahwa kita lebih tahu bagi kehidupan Tuhan. Jika kita sudah mengakui bahwa Tuhan lebih tahu apa yang lebih baik bagi hidup kita, maka biarlah dalam keseluruhan aspek kehidupan kita belajar untuk tundak dan mengikut jalan-Nya.
Komentar