PERNIKAHAN
YANG KUAT
Rev.Gilbert MF.Baker, M.Th
“Jawab Yesus:
"Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula
menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki
akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga
keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan
satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan
manusia” (Matius 19:4-6)
Pendahuluan
Saat ini, banyak
orang kurang menghargai pernikahan. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus hidup
bersama tanpa status pernikahan, kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan
dan tingginya angka perceraian. Apakah yang menjadi penyebab kekacauan ini ?
Saya memperhatikan ada dua penyebab utama mengapa kekacauan dalam keluarga ini
terjadi. Pertama, pengertian yang dangkal tentang cinta. Kedua, Ketidakmengertian
tentang esensi pernikahan Kristen. Karena itu pada kesempatan ini kita akan
melihat kedua hal tersebut.
Apakah Cinta Sejati Itu ?
Kita mengenal istilah
“cinta” dan “kasih” yang dalam bahasa Yunani dibedakan menjadi empat macam,
yaitu:
(1) Eros,
adalah cinta yang mementingkan diri sendiri; cinta yang berpusat pada diri
sendiri; cinta yang berdasarkan daya tarik sensual dan romatisme; kasih yang
egois dan bersyarat
(2) Storge,
adalah kasih alami dalam keluarga; kasih karena hubungan darah atau kekerabatan,
seperti hubungan kasih orang tua dan anaknya.
(3) Philia, adalah bentuk kasih persaudaraan; kasih
sayang antar sahabat atau teman; kasih karena kesetiakawanan.
(4) Agape,
yaitu kasih tanpa pamrih; kasih yang tidak mementingkan diri; kasih dari hati
yang peduli pada orang lain; kasih yang sanggup bertahan, bahkan ketika pihak
lain tidak layak untuk dikasihi; kasih yang tanpa syarat.
Kasih agape ini adalah kasih sejati.
Kristus dalam Matius
22:34-40 meringkas tugas orang Kristen dengan hukum kasih, yaitu kasih kepada
Tuhan, kepada diri sendiri dan kepada sesama.
“Agapê” perlu memenuhi hidup kita dan
mengontrol kasih yang lainnya (philia, eros, storge).
Semua kasih yang lain
hanya dapat diperbaiki dan berfungsi dengan benar dalam proporsi yang tepat bila
“agapê ” mengontrolnya.
Kasih ini mengatur
relasi kita dalam keluarga, sesama, ditempat kerja (Yohanes 13:34), dan bagi
mereka yang membutuhkan bahkan mereka yang memusuhi (Lukas 10:25-37).
“Agapê” dapat
diaktulisasikan kepada Allah dan kepada sesama. Secara khusus, dalam konteks 1
Korintus pasal 13, Paulus menggunakan kata “agapê ” dalam hubungan dengan
sesama.
Paulus dalam 1
Korintus 13:4-8a, tidak berusaha mendefinisikan apa itu kasih, tetapi
memperlihatkan sifat-sifat dan tindakan moral dari kasih.
Tercatat enam belas
sifat dan tindakan moral kasih yang disebutkan Paulus, yaitu:
(1) kasih itu sabar
(bersabar, memberi kesempatan),
(2) kasih itu murah
hati (bermurah hati atau baik hati),
(3) kasih itu tidak
cemburu (tidak iri hati),
(4) kasih itu tidak
memegahkan diri,
(5) kasih itu tidak
(menjadi) sombong,
(6) kasih itu tidak
melakukan yang tidak sopan,
(7) kasih itu tidak
mencari keuntungan-keuntungan diri sendiri,
(8) kasih itu tidak
pemarah (tidak mudah tersinggung,
(9) kasih itu tidak
menyimpan kesalahan orang lain (tidak mengingat hal yang jelek),
(10) kasih itu tidak
bersukacita karena ketidakadilan (tidak bersukacita atas perbuatan yang tidak
benar),
(11) kasih itu
bersukacita bersama kebenaran,
(12) kasih itu
menutupi segala sesuatu,
(13) kasih itu
percaya segala sesuatu,
(14) kasih itu
mengharapkan segala sesuatu,
(15) kasih itu sabar
menanggung segala sesuatu,
(16) kasih itu tak berkesudahan,
Saat ini, banyak
orang memahami cinta dengan cara seperti berikut ini: “Aku cinta engkau karena
engkau cantik”. Atau “aku suka kamu karena kamu mengerti dan perhatian padaku”.
Atau “aku cinta kamu karena kamu mampu memuaskan keinginanku”.
Atau “aku suka kamu
karena masakanmu enak”. Pengertian semacam di atas sama dengan ini “Aku suka
anjingku karena ia menggonggong” atau “aku suka coklat karena coklat enak”, dan
lain sebagainya.
Jika pengertian kita
tentang cinta sejauh atau seperti diatas maka cinta kita begitu dangkalnya. Ini
sama dengan cara duniawi bukan maksud Tuhan dalam pernikahan.
Bagaimana jika tidak
cantik lagi, bagaimana jika suatu saat tidak perhatian lagi, bagaimana jika suatu
saat masakan kurang enak? atau bagaimana jika anjingmu tidak menggonggong lagi,
atau coklatmu menjadi tidak enak? Dimaki-makikah, dibuangkah atau dicampakkan?
Tragis, tapi inilah pengertian banyak orang tentang arti cinta dalam
pernikahan.
Sebenarnya, cinta
sejati adalah mencintai yang dicintai tanpa menuntut kesenangan dan kebahagiaan
diri sendiri tetapi kesenangan dan kebahagiaan yang dicintai.
Jika kita hanya
menuntut untuk disayangi, dihargai, diperhatikan, maka kita egois. Jangan
biarkan hal itu terjadi terus menerus.
Jadilah suami atau
istri yang memberi perhatian, menyanyangi, menghormati, menghargai pasangan
anda, dan menjadikan kebahagian keluarga sebagai hal yang utama (Efesus
5:22-33).
Apakah Esensi
Pernikahan Kristen?
Memahami esensi dari
pernikahan seperti yang dirancang dan ditetapkan Allah sangatlah penting bagi
kelanggengan hubungan pernikahan.
Karena itu kita akan
memperhatikan pengajaran Tuhan Yesus mengenai pernikahan dalam Matius 19:4-10
dan pasal-pasal pararel lainnya. Pertama-tama kita akan melihat definisi
Pernikahan dan kemudian memperhatikan esensi dari pernikahan itu.
Pernikahan dapat
didefisinisikan sebagai berikut: “pernikahan merupakan hubungan eksklusif
antara satu laki-laki dan satu perempuan, dimana keduanya menjadi “satu
daging”, disatukan secara fisik, emosional, intelektual, dan spiritual; dijamin
melalui sumpah sakral dan ikatan perjanjian serta dimaksudkan untuk seumur
hidup”.
Definisi ini
didasarkan pada pernyataan Alkitab dalam Kejadian 1:24; Matius 19:5; Markus 10:7;
Efesus 5:31. Berdasarkan definisi tersebut, berikut ini lima esensi pernikahan
Kristen.
1. Pernikahan
merupakan suatu lembaga yang dibuat dan ditetapkan Allah bagi manusia sesuai
kebutuhan (Matius 19:4,8).
Pernikahan adalah
suatu lembaga yang ditetapkan Allah bagi manusia sesuai dengan kebutuhannya.
Perhatikan Frase dalam “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja.
Aku akan menjadikan
penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2:18). Saat laki-laki (ha adam) “seorang diri saja”
maka Allah menyatakan bahwa keadaan ini “tidak baik”.
Jadi Allah memutuskan
untuk menciptakan “ezer kenegdo” atau “seorang penolong”. Kata Ibrani “ezer” yang diterjemahkan dengan
“penolong” berarti “sesuai dengan” atau “sama dengan”.
Jadi secara harfiah
“seorang penolong” berarti “penolong yang sepadan atau seorang yang sepadan
dengannya”. Dengan demikian jelaslah bahwa Allah sendiri yang menetapkan
lembaga Pernikahan dan memberkatinya (Baca Kejadian 1:28).
Ketetapan Tuhan ini
tidak pernah berubah dan ini berlaku “sejak semula” bagi semua orang, bukan
hanya bagi orang-orang Kristen saja.
Matius mencatat
perkataan Kristus demikian, “Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang
menciptakan manusia sejak semula (ap’arches) menjadikan mereka laki-laki dan
perempuan?” (Matius 19:4).
Kata Yunani
“ap’arches” atau “sejak semula” yang disebutkan Yesus dalam Matius 19:4,
pastilah merujuk pada Kejadian Pasal 2, karena kalimat selanjutnya “Dan
firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu
dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging”, yang diucapkan
Yesus dalam ayat 5 adalah kutipan dari Kejadian 2:24.
Pernikahan adalah
satu-satunya lembaga sosial yang ditetapkan Allah sebelum kejatuhan manusia
dalam dosa (Kejadian 2:24; Banding Kejadian 1:28). Karena itu pernikahan wajib
dihormati oleh semua orang (Ibrani 13:4). Allah telah menetapkan pernikahan
dari sejak semula, baik untuk orang-orang Kristen maupun untuk orang-orang bukan
Kristen.
Dan Allah adalah
saksi dari seluruh pernikahan, baik diundang maupun tidak. Meskipun bentuk dan
tatacara bervariasi dalam setiap budaya dan setiap generasi tetapi esensinya
tetap sama dari “sejak semula” bahwa pernikahan merupakan satu peristiwa sakral
tidak peduli pasangan tersebut mengakuinya ataupun tidak.
Sebuah keluarga
dimulai ketika seorang pria dan seorang wanita memutuskan untuk menikah dan
hidup bersama (Kejadian 2:24).
2. Pernikahan
merupakan hubungan yang eksklusif antara seorang pria dan seorang wanita
(Matius 19:5,6).
Melalui pernikahan
Allah menyatukan dua orang menjadi satu. Dalam rancangan Allah sejak semula,
pernikahan adalah antara satu orang pria dengan satu orang wanita yang menjadi
satu.
Sejak semula Allah
hanya menciptakan dua gender manusia, yaitu laki-laki dan perempuan, yang
walaupun berbeda dalam fungsi dan reproduksi, tetapi sama dalam derajat, harkat dan martabat.
Sebab itu,
bersyukurlah jika anda dilahirkan sebagai pria atau pun sebagai seorang wanita.
Dalam Kejadiam 1:27 dikatakan “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut
gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki (ish) dan
perempuan (ishsha) diciptakan-Nya mereka”.
Kristus menegaskan
kembali hal ini dalam Matius 19:4, dikatakan, “Jawab Yesus: “Tidakkah kamu
baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia (antrophos) sejak semula (ap’arches)
menjadikan mereka laki-laki (aner) dan perempuan (gyne)?”
Jadi yang dimaksud
dengan pernikahan Alkitabiah adalah antara seorang pria biologis dengan
seorangan wanita biologis. Karena itu, pernikahan dengan sesama jenis
(homoseksual) atau pun pernikahan dengan hewan bukanlah pernikahan, melainkan
penyimpangan dari ketetapan Tuhan.
Karena itu
karakteristik paling mendasar dari pernikahan adalah bahwa pernikahan merupakan
satu kesatuan antara seorang pria dan seorang wanita.
Pernikahan itu juga
bersifat monogami, yaitu untuk satu suami dan satu istri. Paulus berkata
“baiklah setiap laki-laki (bentuk tunggal) mempunyai isterinya sendiri (bentuk
tunggal) dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri” (1 Korintus 7:2).
Monogami bukan hanya
ajaran Perjanjian Baru, tetapi merupakan ajaran Perjanjian Lama. Monogami
adalah sejak dari mulanya ketika Allah menciptakan satu laki-laki (Adam) dan
memberi dia hanya satu istri (Hawa). Fakta bahwa Allah mengijinkan poligami
dalam Perjanjian Lama tidaklah membuktikan bahwa Dia memerintahkannya.
Poligami, sebagaimana
perceraian itu diijinkan bukan diperintahkan, hal ini terjadi karena ketegaran
(kekerasan) hati. Tetapi sejak semula tidaklah demikian (Matius 19:8).
3. Pernikahan
merupakan pertemuan dan hubungan antar pribadi yang paling intim. (Matius
19:5,6)
Pernikahan adalah hal
yang paling misterius tetapi serius. Karena, “keduanya akan menjadi satu”.
Artinya, secara praktis keduanya akan beralih “dari aku dan kau menjadi kita”
dan “dari saya dan dia menjadi kami”. Persatuan ini mencakup segalanya
“disatukan secara fisik, emosional, intelektual, dan spiritual”.
Perhatikanlah saat
Alkitab mengatakan “seorang pria akan meninggalkan ayat dan ibunya dan bersatu
dengan istrinya. (Kejadian 2:24). Kata “meninggalkan” dan “bersatu” adalah dua
kata yang penting untuk dipahami.
Kata Ibrani untuk
“meninggalkan” adalah “azab” yang berarti “melonggarkan, melepaskan,
meninggalkan, meninggalkan sepenuhnya, secara total”.
Kata Ibrani untuk
“bersatu” adalah “dabaq” yang artinya “mengikat, lem, melekat, menempel,
bergabung berdekatan dengan atau mengikat bersama”. Artinya jelas, bahwa dalam
pernikahan seorang pria melekatkan diri kepada istrinya sendiri, sehingga “apa
yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6).
Secara khusus,
pernikahan juga melibatkan kesatuan seksual antara pria dan wanita. Perhatikan
frase “satu daging” dalam ayat-ayat Kejadian 1:24; Matius 19:5; Markus 10:7;
Efesus 5:31.
Ada tiga tujuan
relasi seksual dalam pernikahan, yaitu: penyatuan (Kejadian 2:24), perkembang
biakan (Kejadian 1:28), dan rekreasi (Amsal 5:18-19).
Tetapi, hubungan
seksual sebelum pernikahan disebut percabulan (Kisah Para Rasul 15:20; 1
Korintus 6:18) dan hubungan seksual diluar pernikahan disebut perzinahan
(Keluaran 20:14; Matius 19:9). Percabulan maupun perzinahan, sangat dilarang di
dalam Alkitab.
Dalam Perjanjian
Lama, dibawah Hukum Taurat, mereka yang melakukan persetubuhan sebelum menikah
diwajibkan untuk menikah (Ulangan 22:28-29).
Hal ini penting
sebab, seks dikuduskan oleh Allah hanya untuk pernikahan bukan sebelum
pernikahan. Karena itu setiap orang wajib menghormati pernikahan (1 Korintus
7:2; Ibrani 13:4).
4. Pernikahan
merupakan suatu kovenan yang bersifat mengikat (Matius 19:5).
Pernikahan merupakan
suatu kesatuan yang dilahirkan dari satu perjanjian dari janji-janji yang
timbal balik. Kovenan pernikahan ini dinyatakan dengan gamblang oleh nabi
Maleakhi ketika ia menulis “TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri
masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman
sekutumu dan isteri seperjanjianmu” (Maleakhi 2:14).
Kitab Amsal juga
berbicara tentang penikahan sebagai suatu “kovenan” atau “perjanjian” satu sama
lain. Kitab ini mengutuk seorang yang berzinah “yang meninggalkan teman hidup
masa mudanya dan melupakan perjanjian Allahnya” (Amsal 2:17).
Sebuah kovenan
menurut Alkitab, adalah sebuah hubungan yang sakral antara dua pihak, disaksikan oleh Allah,
sanagat mengikat, dan tidak dapat dibatalkan. Kedua belah pihak bersedia
berjanji untuk menjalani kehidupan sesuai dengan butir-butir perjanjian itu.
Kata Ibrani yang digunakan untuk “kovenan” adalah “berit” dan kata Yunaninya
adalah “diathêkê”.
Istilah kovenan yang
seperti inilah yang digunakan Alkitab untuk melukiskan sifat hubungan
pernikahan.
Jadi jelaslah bahwa
pernikahan adalah suatu perjanjian pada satu peristiwa dimana Allah menjadi
saksi. Allahlah yang mengadakan pernikahan dan Dialah yang menyaksikan
janji-janji tersebut benar-benar dibuat “dihadapan Allah”.
Kristus menegaskan
bahwa Allahlah yang benar-benar menyatukan dua manusia bersama-sama di dalam
pernikahan dengan mengatakan, “Apa yang telah disatukan Allah, tidak boleh
diceraikan oleh manusia” (Markus 10:19).
Bagaimana dengan
perceraian, bukankan Kristus mengatakan bahwa “apa yang telah disatukan Allah,
tidak boleh diceraikan oleh manusia”?
Pertama-tama,
perceraian dapat terjadi hanya karena satu alasan yaitu “zinah” (Matius 19:9).
Frasa “kecuali karena
zinah” adalah satu-satunya alasan dalam Alkitab di mana Tuhan memberikan izin
untuk perceraian. Satu alasan ini perlu ditegaskan karena orang farisi datang
kepada Yesus dengan pertanyaan “Apakah diperbolehkan orang menceraikan
isterinya dengan alasan apa saja?” Frase Yunani “kata pasan aitian” sebuah
frase yang lebih tepat bila diterjemahkan “untuk alasan apa saja” (Matius
19:3). Banyak penafsir Alkitab yang memahami “klausa pengecualian” ini sebagai
merujuk pada “perzinahan” yang terjadi pada masa “pertunangan”. Dalam tradisi
Yahudi, laki-laki dan perempuan dianggap sudah menikah walaupun mereka masih
“bertunangan.”
Percabulan dalam masa
“pertunangan” ini dapat merupakan satu-satunya alasan untuk bercerai. Disini,
Matius menggunakan kata Yunani “porneia” atau “percabulan”, yang pada dasarnya
berarti ketidaksetiaan secara seksual atau ketidaksetiaan sebelum pernikahan
yang mencakup segala macam hubungan seksual yang bertentangan dengan hukum.
Jika perzinahan yang
dimaksud terjadi setelah pernikahan maka kata Yunani yang biasanya digunakan
adalah “moikeia”. Kata “moikeia” adalah perzinahan atau seks haram yang
melibatkan seseorang yang sudah menikah.
Kedua, fakta bahwa
Allah “mengijinkan” perceraian dalam Perjanjian Lama tidaklah membuktikan bahwa
Dia memerintahkannya (baca Ulangan 24:1-4). Perceraian itu diijinkan bukan
diperintahkan, hal ini terjadi karena “sklerokardia” atau “kekerasan hati”
(Matius 19:8). Ini berarti perceraian adalah konsensi ilahi bukan konstitusi
ilahi. Kata Ibrani “tidak senonoh” dalam ulangan 24:1, adalah “erwath dabar”,
sebuah frase yang secara harafiah berarti “ketelanjangan suatu benda”. Kata ini
dapat diartikan sebagai “keadaan telanjang atau pamer aurat yang dikaitkan
dengan perilaku yang tidak suci”, tetapi bukan perzinahan setelah pernikahan.
Karena hukuman bagi
perzinahan setelah pernikahan dalam hukum Taurat adalah hukuman mati, sebagaimana yang
disebutkan dalam Imamat 20:10 “Bila
seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni berzinah dengan
isteri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang berzinah itu”. (Bandingkan Yohanes 8:5).
Tampaknya ada
kesalahpahaman diantara pria Yahudi dalam menafsirkan tujuan dari ijin
perceraian dengan memberikan surat cerai tersebut.
Sebenarnya, surat
cerai diberikan bukan untuk membenarkan perceraian, tetapi untuk melindungi
hak-hak perempuan (istri), agar ia jangan diusir begitu saja atau diperlakukan
seenaknya.
Tetapi ayat ini
justru digunakan oleh para lelaki untuk mengajukan perceraian terhadap istri
mereka. Suatu interpretasi yang keliru, sehingga tepat jika Yesus menuding
keras dengan mengatakannya “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu
menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian” (Matius
19:8).
5. Pernikahan
bersifat permanen dan merupakan suatu komitmen kesetiaan untuk seumur hidup
(Matius 19:6)
Menurut Alkitab,
kehendak Allah bahwa pernikahan sebagai komitmen seumur hidup. Permanennya
suatu pernikahan, dengan jelas dan tegas dikatakan Kristus, “Apa yang telah
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6).
Jadi Allah dari sejak
semula menetapkan bahwa pernikahan sebagai ikatan yang permanen, yang berakhir
hanya ketika salah satu pasangannya meninggal (bandingkan Roma 7:1-3; 1
Korintus 7:10-11). Paulus juga menegaskan hal ini ketika ia berkata “Sebab
seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup.
Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya
kepada suaminya itu.
Jadi selama suaminya
hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika
suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau
ia menjadi isteri laki-laki lain” (Roma 7:2-3).
Walaupun pernikahan
berlaku seumur hidup, tetapi tidak bersifat kekal. Artinya, hubungan pernikahan
hanya terjadi selama hidup di bumi, tetapi tidak berlanjut dalam kekekalan.
Hal ini jelas dari
apa yang Yesus katakan, “Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan
tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga” (Matius 22:30).
Meskipun kita pasti
dapat mengenali orang-orang yang kita cintai di sorga nanti, tetapi jelaslah
tidak ada pernikahan di sorga. Karena itu, Paulus menuliskan bahwa para janda
dapat menikah lagi (1 Korintus 7:8-9), menunjukkan bahwa komitemen mereka hanya
berakhir sampai kematian pasangan mereka.
Penutup
Pernikahan adalah hal
mulia, yang dikaruniakan Tuhan, sejak manusia belum jatuh ke dalam dosa, yaitu
suatu bayangan yang melukiskan persekutuan antara Kristus dan gerejaNya (Efesus
5:22-33). Dalam pernikahan suami dan istri mengikat diri dalam suatu tujuan
yang kudus, untuk membangun rumah tangga bahagia dan harmonis.
Karena itu, janganlah
pernikahan ditempuh atau dimasuki dengan sembarangan, dirusak oleh karena
kurang bijaksana, dinista atau dinajiskan; melainkan hendaklah hal itu
dihormati dan dijunjung tinggi dengan takut akan Tuhan serta mengingat maksud
Allah dalam pernikahan itu.
Allah telah
menciptakan laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama. Pernikahan
mempersatukan kedua hati, mempersatukan kasih dan pengharapan dalam suatu
kehidupan bersama. Dengan demikian Allah memberi kesempatan kepada laki-laki
dan perempuan untuk hidup bersama. Kehidupan bersama laki-laki dan perempuan
harus didasarkan atas kasih karunia.
Sebagaimana Yesus
Kristus mengasihi satu gereja dan gereja itu mengasihi satu Tuhan, demikian
laki-laki dipanggil mengasihi satu perempuan dan perempuan mengasihi satu
laki-laki.
Karena itu hendaklah
pernikahan ditempuh dengan rukun, sehati, setujuan, penuh kasih sayang, percaya
seorang akan yang lain, dan bersandar kepada kasih karuniaTuhan. Hanya dengan
cara yang demikian kehidupan bersama ini dapat bertahan dan menjadi berkat.
Amin
Komentar